Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang, Berastagi dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sejarah
Selama tujuh tahun, para ahli dari universitas Oxford tersebut meneliti proyek ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan dan peralatan hidup yang mereka tinggalkan di padang yang gundul. Daerah dengan luas ribuan hektare ini ternyata hanya sabana (padang rumput). Sementara tulang belulang hewan berserakan. Tim menyimpulkan, daerah yang cukup luas ini ternyata ditutupi debu dari letusan gunung berapi purba.
Penyebaran debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan hampir di seluruh dunia. Berasal dari sebuah erupsi supervolcano purba, yaitu Gunung Toba. Dugaan mengarah ke Gunung Toba, karena ditemukan bukti bentuk molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik. Sejak kaldera kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3000 mil, dari sumber letusan. Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu itu sampai terekam hingga Kutub Utara. Hal ini mengingatkan para ahli, betapa dahsyatnya letusan super gunung berapi Toba kala itu.
Kerusakan lingkungan
Pada bulan Mei 2012, Pemkab Samosir menerbitkan surat keputusan (SK) Bupati Samosir No. 89 tanggal 1 Mei 2012 tentang Pemberian Izin Lokasi Usaha Perkebunan Hortikultura dan Peternakan seluas 800 hektare di Hutan Tele, di Desa Partungkot Nagijang dan Hariara Pintu, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara kepada PT Gorga Duma Sari (GDS) yang dimiliki seorang anggota DPRD Kabupaten Samosir, Jonni Sitohang.[1][2] Kemudian dilanjutkan dengan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang diberikan oleh Kepala Dinas Provinsi Sumatera Utara melalui SK Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Samosir Nomor 005 Tahun 2013.[1] Ketua Pengurus Forum Peduli Samosir Nauli (Pesona), Rohani Manalu menyatakan bahwa izin yang didapatkan ini membuat PT GDS melakukan penebangan atas kayu-kayu alam di dalam hutan tanpa memiliki AMDAL.[1] Rohani juga menyatakan bahwa akibat lain adalah terjadinya longsor dan banjir yang menimbulkan korban jiwa.[3][4]Akibat penebangan hutan Tele, lumpur hasil erosi di atas tanah bekas penebangan tersebut telah menyebabkan pendangkalan sungai-sungai di sekitar Danau Toba.[5]
Program penanaman sejuta pohon yang digerakkan pemerintah Provinsi Sumatera Utara pun dikatakan tidak efektif karena banyak pohon yang mati karena tidak dirawat. Hal ini menyebabkan tiga aktivis lingkungan Sumatera Utara, Marandus Sirait, Hasoloan Manik (Kalpataru), dan Wilmar Eliaser Simandjorang (Satya Lencana Karya Satya, Toba Award, Wana Lestari) mengembalikan semua piagam penghargaan yang pernah diberikan pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kementerian Kehutanan, dan Istana Negara.[5][6]
Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya telah melayangkan dua surat rekomendasi agar Bupati Samosir Mangindar Simbolon sebagai pemberi izin usaha dan penanggung jawab agar memberikan sanksi administratif berupa penutupan aktivitas usaha.[6] Setelah surat pertama tidak digubris, Bupati Samosir menjawab surat kedua dengan menyatakan bahwa perusahaan tidak melanggar sehingga tidak layak ditutup.[6][7] Karena Bupati tidak melaksanakan rekomendasi, Kementerian Lingkungan Hidup pun memberlakukan Pengambil Alihan Wewenang (Second Line Enforcement) dan menutup sementara aktivitas PT GDS.[6] Setelah Kementerian Lingkungan Hidup turun langsung ke lokasi berdasarkan temuan bahwa keputusan tidak digubris,[8][9] lalu Pemkab menyurati PT GDS untuk menaati surat keputusan. PT GDS pun menghentikan semua kegiatan operasional dan menarik alat-alat berat di kawasan tersebut berdasarkan pengakuan Direktur GDS Jonni Sitohang.[2]
0 komentar:
Posting Komentar